Beranda | Artikel
Akhlak Pengemban Al-Quran Bertakwa Kepada Allah sampai Menjaga Lisan
Kamis, 5 Maret 2020

Bersama Pemateri :
Syaikh `Abdurrazzaq bin `Abdil Muhsin Al-Badr

Akhlak Yang Semestinya Dimiliki Oleh Pengemban Al-Qur’an adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab التبيان في شرح أخلاق حملة القرآن (At-Tibyaan fi Syarh Akhlaq Hamalatil Qur’an). Pembahasan ini disampaikan oleh Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr pada 30 Jumadal Akhirah 1441 H / 24 Februari 2020 M.

Kajian Islam Ilmiah Tentang Akhlak Pengemban Al-Qur’an Bertakwa Kepada Allah sampai Menjaga Lisan

Kita lanjutkan kajian kita dalam pembahasan kitab akhlaq hamalatil Qur’an yang ditulis oleh Imam Al-Ajurri Rahimahullah dan kita telah sampai pada perkataan beliau, “Akhlak yang semestinya dimiliki oleh pengemban Al-Qur’an yang pertama yaitu menggunakan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla baik dalam kondisi sendiri maupun ditengah banyak orang.”

Syaikh Hafidzahullah mengatakan bahwa maksud dari perkataan penulis kitab ini Rahimahullah yaitu seorang pengemban Al-Qur’an menggunakan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala baik ketika dia sendiri maupun ketika dilihat oleh orang lain, baik ketika dia berada di rumahnya atau ketika dia sedang bepergian dan bahkan di semua waktu dan kondisi karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat dia di manapun dia berada. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada sahabat Muadz Radhiyallahu ‘Anhu:

اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ

“Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada.”

Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ

“Dan Allah bersama kalian di manapun kalian berada.”

Maksudnya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama kalian dengan ilmu dan penglihatanNya. Dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sesuatupun yang tersembunyi dariNya baik itu di langit dan di di bumi.

Dan arti takwa kepada Allah yaitu seorang hamba menjadikan sesuatu antara dirinya dan yang dia takuti yang menghalangi dia dari apa yang dia takuti dengan cara mengerjakan perintah dan menjauhi larangan.

Berkata Thalq bin Habib Rahimahullah ketika menjelaskan hakikat takwa, takwa adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah diatas cahaya dari Allah dan mengharap pahala dari Allah. Dan meninggalkan maksiat kepada Allah diatas cahaya dari Allah karena takut adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Berkata Al-Hafidz Adz-Dzahabi Rahimahullah setelah menyebutkan perkataan Thalq bin Habib Rahimahullah bahwa beliau telah memberikan ringkas dan jelas karena tidak ada ketakwaan kecuali dengan amalan dan tidak ada amalan yang diterima kecuali dengan ilmu dan petunjuk. Dan juga amalan tersebut tidak akan bermanfaat kecuali dengan ikhlas kepada Allah ‘Azza wa Jalla, bukan untuk dikatakan, “fulan dia meninggalkan maksiat karena dia seorang yang mempunyai ilmu”. Karena ketika seorang ingin meninggalkan maksiat ia harus mengetahui apa itu maksiat. Dan juga meninggalkannya harus sebabnya adalah karena takut dari Allah ‘Azza wa Jalla, bukan agar ia dipuji karena ia telah meninggalkan maksiat. Dan barangsiapa yang menetapi wasiat ini maka sungguh dia telah berhasil.

Dan apa yang telah kita sebutkan tadi ada tanda bahwa takwa itu ada permulaannya dan ada tujuannya. Ada permulaannya dan ada tujuannya. Permulaan dari takwa yaitu beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditunjukkan oleh perkataan Thalq bin Habib yaitu bertakwa kepada Allah melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya diatas cahaya dan petunjuk dari Allah. Adapun tujuan dari ketakwaan adalah untuk mendapatkan pahala dan selamat dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditunjukkan oleh perkataan beliau dengan mengharap pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Juga perkataan beliau, “Karena takut dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala.” Ini juga adalah hakikat ketakwaan. Yaitu seseorang berusaha untuk memperbaiki hatinya dan memperbaiki keadaannya dengan cara yang diridhai oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Juga agar ia mendapatkan pahala dan janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala serta agar selamat dari kemurkaan dan hukuman dari Allah ‘Azza wa Jalla.

Imam Al-Ajurri Rahimahullah mengatakan bahwa seorang menggunakan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara wara’ (berhati-hati) pada makanannya, minumannya, pakaiannya dan penghasilannya. Ini adalah contoh-contoh yang disebutkan oleh penulis kitab ini Rahimahullah dari contoh ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena pintu ketakwa itu sangat luas sekali. Dan arti dari wara’ yaitu seorang meninggalkan sesuatu yang berbahaya untuknya di akhirat yang berkaitan dengan makanannya, minumannya dan penghasilannya dengan cara ia meninggalkan makanan-makanan yang diharamkan, minuman-minuman yang diharamkan dan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya baginya di akhirat. Dan di antara bentuk ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla yaitu meninggalkan transaksi-transaksi, makanan-makanan, minuman-minuman Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan. Adapun orang yang memakan, meminum, mencari pekerjaan dari pekerjaan haram dan dia tidak memperdulikan keharaman tersebut, maka ini menunjukkan lemahnya ketakwaan dia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan diantara perkara yang harus dipelajari oleh seorang hamba yaitu ia harus membedakan mana rejeki yang baik, mana rejeki yang buruk, mana jual beli yang halal, mana jual beli yang haram dan ia juga harus mengetahui cara untuk mencari rejeki yang benar, cara untuk mendapatkan makanan dan minuman yang halal. Dan di antara cerita yang menakjubkan yang perlu kita ketahui yaitu bahwasanya Muhammad bin Hasan (murid dari Imam Abu Hanifah Rahimahullah) sebagian sahabatnya pernah berkata kepadanya, “Tidakkah engkau mengarang satu kitab tentang zuhud?” Beliau menjawab, “Aku sudah menulis kitab tentang jual-beli.”

Arti dari perkataan beliau adalah jika engkau ingin menjadi orang yang zuhud, orang yang berhati-hati, orang yang wara’, maka pelajarilah agamamu. Ketahuilah jual beli yang halal, jual beli yang haram. Karena bagaimana mungkin seseorang bisa berhati-hati meninggalkan perkara yang haram dan dia tidak tahu apa perkara yang harus ditinggalkan tersebut. Sebagaimana dikatakan, bagaimana seseorang ingin meninggalkan sesuatu yang diharamkan sedangkan dia tidak mengetahui apa perkara haram tersebut?

Maka orang yang tidak mengetahui apa saja yang harus ditinggalkan, ia akan berjual-beli dan dia tidak mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, larangan apa yang ada dalam syariat dan apa yang diharamkan dalam syariat. Orang seperti ini bagaimana mungkin dia bisa merealisasikan ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Maka asas pertama dari sikap wara’, pondasi utama untuk sikap wara’ yaitu mempelajari apa saja yang harus ditinggalkan dan mengetahui apa yang tidak boleh untuk dilakukan. Karena seseorang yang tidak memiliki sesuatu tentu dia tidak bisa memberikan apa-apa.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah bahwa sikap wara’ yang benar yaitu meninggalkan sesuatu yang berbahaya di akhirat. Yaitu meninggalkan perkara-perkara yang haram, perkara-perkara yang syubhat yang tidak menyebabkan ketika seseorang meninggalkan perkara tersebut ia meninggalkan sesuatu yang lebih penting seperti perkara-perkara yang wajib. Adapun sesuatu yang bermanfaat di akhirat untuk dirinya atau membantu untuk sesuatu yang bermanfaat di akhirat, maka meninggalkan hal tersebut bukan termasuk bagian dari agama. Dan ia termasuk dari perkataan Allah Subhanahu wa Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّـهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّـهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ ﴿٨٧﴾

Wahai orang-orang yang berimana, janganlah kalian mengharamkan hal-hal yang baik yang Allah halalkan untuk kalian dan janganlah kalian melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Maidah[5]: 87)

Kemudian Imam Al-Ajurri Rahimahullah mengatakan bahwa hendaklah dia menjadi orang yang mengerti tentang kondisi zamannya dan rusaknya orang-orang pada zaman tersebut sehingga dia berhati-hati untuk menjaga agamanya. Yaitu dia harus mengetahui perkara-perkara tersebut sehingga dia bisa berhati-hati jangan sampai kerusakan yang terjadi pada manusia berpengaruh juga pada dirinya. Maka hendaklah seorang harus mengerti dan mengetahui kondisi zamannya dan rusaknya orang-orang pada zaman tersebut.

Ia selalu memperhatikan keadaan dirinya. Yaitu selalu berusaha mencari keridhaan Allah ‘Azza wa Jalla. Pikiran dia selalu berusaha untuk memperbaiki apa yang rusak dari perkaranya. Yaitu menjadikan konsentrasi dia selalu berusaha untuk mengetahui apa saja kekurangan dan kelalaian yang ada pada dirinya.

Kemudian Imam Al-Ajurri Rahimahullah mengatakan bahwa seorang pengemban Al-Qur’an hendaklah ia menjaga lisannya. Ia menimbang-nimbang ucapannya. Jika ia berkata, ia berkata dengan ilmu jika ia melihat bahwasannya perkataan tersebut benar. Dan apabila dia diam maka ia pun diam dengan ilmu jika ia mengetahui bahwasanya diam itu yang lebih benar.

Syaikh Hafidzahullah mengatakan ketika menjelaskan, “Ia menjaga lisannya.” Artinya dia tidak berkata kecuali ucapan yang ia yakin bahwasanya ucapan tersebut bermanfaat dan tidak ada bahayanya sama sekali. Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

Ia menimbang perkataannya. Jika ia berkata maka ia berkata di atas ilmu. Ia menimbang perkataan sebelum seseorang mengucapkan sesuatu. Karena apabila ucapan tersebut telah keluar dari lisan, maka ucapan itulah yang akan menguasai orang yang mengucapkannya dan ucapan tersebut telah lepas darinya. Namun ketika ucapan tersebut belum diucapkan, maka orang yang memiliki ucapan tersebut dan ia bisa menjaga ucapan tersebut sebelum ia mengeluarkannya.

Dan jika kita ingin menimbang suatu perkataan sebelum diucapkan maka kita akan mendapati bahwasanya ucapan yang diucapkan tidak keluar dari tiga keadaan. Yang pertama, ucapan yang jelas bahwasanya ucapan tersebut baik tidak ada bahayanya, maka jenis ini silahkan anda ucapkan. Yang kedua, yaitu perkataan atau ucapan yang jelas-jelas berbahaya, tidak ada manfaatnya, maka jenis ini tahan diri anda dari mengucapkannya, jaga lisan anda karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَهَلْ يَكُبَّ النَاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ –أَوْ قَالَ : عَلىَ مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ

“Apakah yang menjungkirkan manusia ke dalam neraka kecuali ucapan-ucapan yang dikeluarkan dari lisannya.” (HR. Tirmidzi)

Juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat dari kalimat yang diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia tidak memperdulikannya/tidak menyangkanya ternyata kalimat tersebut mengangkat dia beberapa derajat dan sesungguhnya ada seorang hamba yang mengucapkan satu kalimat yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia tidak menyangka ternyata perkataan tersebut menyebabkan ia jatuh ke dalam neraka jahanam.” (HR. Bukhari)

Jenis yang ketiga yaitu ucapan yang tidak jelas apakah ucapan itu baik atau berbahaya, tidak bermanfaat atau ada mudharatnya, ini tidak jelas. Maka jenis untuk jenis ini Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan kepada kita:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه

“Barangsiapa yang meninggalkan syubhat (perkara-perkara yang tidak jelas), maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka sesuatu yang belum jelas, yang anda tidak mengetahui apakah itu bermanfaat atau ada mudharatnya atau bahkan berbahaya, maka tinggalkan, jauhi ucapan tersebut dan ucapkan perkataan yang jelas-jelas bermanfaat saja. Dan apabila kemudian ternyata diketahui bahwasanya ucapan tersebut bermanfaat/tidak ada mudharatnya maka silahkan diucapkan. Dan sebaliknya, jika jelas bahwasanya ucapan itu berbahaya/tidak ada manfaatnya, maka pujilah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena anda belum mengucapkan ucapan tersebut.

Berkata Imam Syafi’i Rahimahullah, “Seorang jika ingin mengatakan sesuatu hendaklah ia memikirkan terlebih dahulu. Jika nampak bahwasanya ucapan tersebut tidak berbahaya/tidak ada mudharatnya, maka silakan ia mengucapkan. Dan jika jelas ada mudharatnya atau ia ragu, maka hendaklah ia menahan dirinya dari ucapan tersebut.”

Sedikit berbicara perkara yang tidak bermanfaat

Diantara akhlak pengemban Al-Qur’an yaitu sedikit berbicara perkara yang tidak bermanfaat. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيهِ

“Di antara tanda kebaikan agama Islam seseorang dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwasannya meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan masuk dalam amalan-amalan Islam. Karena keimanan dan keislaman di antara contohnya adalah melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan. Maka sebagaimana melaksanakan ketaatan tanda keislaman dan keimanan seseorang, maka juga meninggalkan perkara-perkara yang haram di antara tanda keislaman dan keimanan.

Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيهِ (Ia meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya), ini tidak menunjukkan bahwasanya perkara ini kembali kepada kecenderungan seseorang atau hawa nafsunya sehingga ia meninggalkan apa yang ia inginkan dengan alasan itu tidak bermanfaat baginya. Namun perlu kita ketahui bahwasanya semua yang ada dalilnya dari syariat, dari nash-nash Al-Qur’an dan as-Sunnah maka seorang Muslim harus mengamalkannya. Dan apa yang terdapat dalam syariat bahwasanya perkara tersebut tidak bermanfaat, inilah yang harus ditinggalkan. Maka perkara ini kembali kepada mengikuti apa yang ada di dalam kitab dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Ia takut dari lidahnya

Di antara akhlak pengemban Al-Qur’an yaitu ia takut dari lidahnya. Dan ketakutannya lebih besar daripada ketakutannya kepada musuhnya. Ia selalu menahan lisannya sebagaimana ia menahan musuhnya.

Yang dimaksud dengan menjaga lisan atau menahan lisan yaitu menahannya dari segala perkara dan ucapan yang berbahaya. Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu mengatakan, “Dan demi Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selainNya, tidak ada sesuatu di atas muka bumi ini yang lebih perlu untuk ditahan dan dijaga melebihi lisan.”

Karena lisan dan lidah jika tidak dijaga, jika tidak dikekang dan tidak ditahan, maka sangat berbahaya sekali. Akibatnya bisa sangat buruk. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika menjelaskan buah dari menjaga lisan:

مَنْ صَمَتَ نَجَا

“Barangsiapa yang diam maka ia akan selamat.” (HR. Tirmidzi)

Tentu tidak masuk dalam perkara ini yaitu berdzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, mengajak kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, maka semua perkara ini tentu tidak boleh kita menahan lisan kita dari perkara-perkara tadi karena semua hal tersebut adalah perkara kebaikan yang bermanfaat untuk seorang hamba. Dan menjaga lisan ini adalah sebab seorang terjaga. Karena seluruh anggota badan manusia dan gerak-geriknya itu mengikuti lisannya sebagaimana tertera dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا أَصْبح ابْنُ آدَمَ، فَإنَّ الأعْضَاءَ كُلَّهَا تُكَفِّرُ اللِّسانَ، تَقُولُ: اتِّقِ اللَّه فينَا، فَإنَّما نحنُ بِكَ؛ فَإنِ اسْتَقَمْتَ اسَتقَمْنا، وإنِ اعْوججت اعْوَججْنَا

“Jika masuk seorang anak Adam di pagi hari, maka seluruh anggota badan tunduk kepada lisannya dan seluruh anggota badan tersebut mengatakan kepada lisan: bertakwalah kepada Allah dalam memimpin kami. Kami ini berada dibawah kendalimu (kata anggota-anggota badan kepada lidah). Jika engkau lurus maka kami pun lurus dan jika engkau bengkok maka kami juga ikut bengkok.”

Dan juga dikatakan:

الْمَرْءُ بِأَصْغَرَيْهِ: بِقَلْبِهِ وَلِسَانِهِ

“Ukuran seseorang itu ada dua hal: yaitu dilihat hati dan lisannya”

Jika hati dan lisannya lurus, maka seluruh anggota badannya juga akan lurus. Dan apabila hati dan lisannya bengkok, maka itu pun akan menyebabkan seluruh badannya ikut menyimpang.

Sedikit tertawa

Imam Al-Ajurri Rahimahullah mengatakan bahwa seorang pengemban Al-Qur’an ia sedikit tertawa perkara-perkara yang ditertawakan oleh banyak manusia karena bahayanya akibat dari banyak tertawa.

Banyak dari manusia, pikiran dia dan kesibukan dia itu hanya banyak tertawa dan terbahak-bahak. Dan ini adalah kehancuran bagi seorang manusia dan perubahan untuk kehidupannya dari yang seharusnya ia bersungguh-sungguh atau mengurus perkara-perkara yang penting berubah menjadi sibuk dengan perkara yang sepele, perkara yang sia-sia, perkara yang tidak bermanfaat yang diakibatkan dari terlalu banyak tertawa tersebut.

Jika dia takjub dengan sesuatu yang sesuai dengan kebenaran maka ia hanya tersenyum. Syarat ini penting. Yaitu jika ia mendengar sesuatu yang sesuai dengan kebenaran. Karena sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran yang banyak dilakukan oleh manusia dari kebohongan-kebohongan dari mengejek manusia yang lain dengan maksud bercanda atau ingin sekedar menertawakan orang lain, ini adalah perkara-perkara yang dilarang dalam syariat kita. Tidak disyariatkan dan tidak dibolehkan seseorang ikut ketawa dan tersenyum karena perkara tersebut bertentangan dengan kebenaran bahkan sebaliknya harus diingkari. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda:

وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ

“Celaka orang yang berbicara untuk membuat orang lain tertawa namun dia berdusta, kecelakaan baginya dan kecelakaan baginya.”

Tidak suka banyak bercanda

Diantara akhlak pengemban Al-Qur’an adalah ia tidak suka banyak bercanda. Karena ia takut kehidupannya berubah menjadi kehidupan yang penuh dengan permainan. Dia tidak banyak bercanda karena ia takut tenggelam dalam canda tawa tersebut sehingga ia tidak bisa menjadi orang yang serius. Jika dia bercanda dia mengatakan sesuatu yang benar. Oleh karena itu ketika dikatakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Wahai Rasulullah kadang engkau bercanda kepada kami.” Maka beliau mengatakan:

أنِّي لا أقولُ إلَّا حقًّا

“Sesungguhnya aku tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang benar.” (HR. At-Tirmidzi Rahimahullah)

Wajahnya selalu ceria dan ucapannya selalu baik

Yaitu jika ia bertemu dengan saudara-saudaranya ia bertemu dengan wajah ceria, bukan wajah yang masam, bukan wajah yang cemberut. Dan jika ia berkata ia berkata dengan perkataan yang baik. Berkata sahabat ‘Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, “Akhlak yang baik itu adalah perkara yang mudah, cukup dengan wajah yang ceria dan perkataan yang lembut.”

Ia tidak memuji dirinya sendiri dengan sesuatu yang memang ada pada dirinya apalagi tentu ia tidak menyebutkan sesuatu yang tidak ada pada dirinya. Ini adalah diantara sifat dan karakteristik pengemban Al-Qur’an yang sangat mulia dan sangat tinggi. Yaitu dia tidak memuji dirinya sendiri walaupun perkara kebaikan tersebut ada pada dirinya dan tentu dia tidak mengakui sesuatu yang tidak ada pada dirinya.

Downlod MP3 Ceramah Agama Tentang Akhlak Pengemban Al-Qur’an Bertakwa Kepada Allah sampai Menjaga Lisan

Jangan lupa untuk turut menyebarkan link download kajian ini di media sosial yang Anda miliki, baik itu facebook, twitter, atau yang lainnya. Semoga bisa menjadi pintu kebaikan bagi yang lain. Barakallahu fiikum..

Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com

Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :

Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv

Pencarian: hadits majelis ilmu, hadits menghadiri majelis ilmu, hadits tentang majelis taklim


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/48215-akhlak-pengemban-al-quran-bertakwa-kepada-allah-sampai-menjaga-lisan/